BAHASA LEPAS KONTEKS: MENUAI PERKARA
Bambang Kaswanti Purwo
Guru Besar Linguistik Unika Atma Jaya
[spesialisasi: sintaksis, pragmatik dan
wacana]
Bahasa,
termasuk bahasa Indonesia, berpeluang untuk dipakai bermain dan juga untuk
dimainkan atau dipermainkan. Tulisan “Kawasan Bebas Rokok”, misalnya, dengan
hanya menambah me- pada rokok menjadi merokok, berubah berkebalikan maknanya.
Papan iklan memanfaatkan peluang ini, misalnya, “Ini bir baru. Ini baru bir.”;
“Terus terang Philips terang terus”. Kedua contoh permainan kata ini tidak
menuai persoalan.
Akan
tetapi, kalau ada tindakan mencomot kata, rentetan kata, bagian kalimat, atau
bahkan kalimat yang utuh pun, dalam arti dicerabut dari konteks dan situasi
pemakaiannya, lalu menafsirkan makna merupakan tindakan tidak memahami hakikat
dari bahasa. Makna bahasa bukan hanya berurusan dengan kosakata, sintaksis,
atau semantik – yang dapat dibahas lepas konteks – tetapi menyangkut bidang
linguistik yang disebut pragmatik dan wacana (discourse), yang – tidak dapat
tidak – menuntut pertimbangan atas konteks pemakaiannya di dalam tindak
komunikasi: siapa yang berbicara, kepada siapa disampaikan, di mana, kapan, dan
pada suatuasi apa. Pencabutan bagian kalimat dari konteks komunikasinya menuai
persoalan. Akibat merenggut bagian kalimat dari konteks asalnya itu membuka
peluang masuknya pengait-ngaitan dengan pelbagai macam konteks lain yang
arahnya dapat ke mana pun tanpa kendali, berpeluang menyimpang bahkan menjauh
dari makna kontekstualnya semula – termasuk niat atau tujuan – yang
sesungguhnya dimaksudkan oleh si penutur.
Di
dalam semantik, yang berurusan dengan pemaknaan kata sebagaimana terekam di
dalam kamus, dibahas makna kata yang tidak terikat pada konteks pemakaiannya.
Kamus merekam potensi makna kata, misalnya, dengan makna kata yang lebih dari satu
(polisemi), yang saling berdekatan makna (sinonim), berlawanan makna (antonim).
Kata bank pada tuturan “Wait for me at the bank.” – lepas konteks – bermakna
ganda atau ambigu; tempat pertemuan bisa di tepi sungai atau di gedung tempat
menabung. Namun, hanya bermakna satu apabila dipakai di dalam konteks
komunikasi.
Salah
satu pernyataan Ahok di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu, 27 September 2016,
yang berikut ini, membuka peluang untuk dimainkan dan dipermainkan, ketika yang
disoroti dan diperbincangkan adalah bagian kalimat yang lepas konteks, yang
dicomot dari keseluruhan konteksnya secara utuh:
Jadi,
jangan percaya sama orang. Kan bisa aja dalam hati kecil bapak ibu nggak bisa
pilih
saya, karena dibohongi pakai Surat Al-Maidah 51 macem-macem itu. Itu hak
bapak
ibu ya ...
Pembicaraan
berkisar di seputar bagian kalimat yang mengandung kata pakai dan berfokus pada
pemaknaan kata ini, sampai melebar, melantur ke arah pemaknaan yang tak
terkendali arahnya.
Jika
dipertanyakan apa makna kata pakai pada kutipan pernyataan di atas – secara
terlepas dari konteksnya – jawabannya lebih dari satu: dapat bersinggungan
makna dengan kata dengan dan oleh.
Pertimbangkanlah
pemakaian dalam pelbagai rentetan kata yang berkaitkan sama-dengan-oleh-pakai
ini: “pergi sama ibu”–“pergi dengan ibu”; “ditangkap sama polisi”–“ditangkap
oleh polisi”; “teh sama es”–“teh dengan es”–“teh pakai es”; “dipanasi
dengan/oleh sinar matahari”; “diperciki dengan/oleh minyak zaitun”. Pelbagai
kemungkinan rangkaian ini tidak dipersoalkan oleh para penutur bahasa
Indonesia. Pemakaiannya bebas, leluasa, dapat dipilih yang mana pun karena
maknanya kurang lebih sama dan tidak membahayakan.
Jadi,
kata pakai – secara lepas konteks – dapat bermakna ambigu: ‘dengan’ (keterangan
cara) atau ‘oleh’ (keterangan pelaku) tetapi di dalam konteks seperti pada
kutipan di atas hanya bermakna satu, yaitu ‘dengan’, bukan ‘oleh’. Ini juga
terkait dengan pemaknaan sebagaimana yang dimaksudkan oleh si penutur, yang
hanya dapat ditangkap berdasarkan konteks dan situasi pemakaiannya.
Lalu,
kalau kalimatnya berupa “dibohongi pakai Surat Al-Maidah 51”, apakah ini dapat
diartikan bahwa Surat Al-Maidah 51 diperlakukan secara negatif oleh si penutur,
dianggap ‘mengandung kebohongan’? Tidak. Pada kalimat itu Surat Al-Maidah 51
dipakai sebagai alat, dalam pengertian netral terhadap anggapan positif atau
negatif.
Bandingkan
dengan kalimat “... dipukuli (sampai babak belur) pakai tongkat pusaka.” Apakah
dalam kalimat ini “tongkat pusaka” mengandung unsur negatif? Tidak. Sebagai
alat, “tongkat pusaka” itu netral, yang negatif adalah tindakan pelaku
pemukulan.
Pemaknaan
tanpa pertimbangan pragmatik dapat berbahaya, apalagi tanpa mengikutsertakan
pemaknaan berdasarkan pertimbangan wacana (discourse). Dalam penataan kalimat
menjadi satu paragraf, makna inti dari seluruh paragraf terdapat pada kalimat
pertama (“kalimat topik”). Namun, kalimat pertama pada kutipan di atas tidak
menjadi titik pijak perbincangan. Fokus yang kini ramai berlangsung justru
bertolak dari kalimat kelanjutannya, yang sebenarnya hanya merupakan penjelasan
saja dari kalimat pertama. Yang terucap “jangan percaya sama orang”, yang
dimaksudkan “bapak ibu jangan sampai mudah dibohongi”. Jangan sampai
terpengaruh oleh suara-suara itu sampai menolak bantuan yang saya berikan.
Terimalah bantuan ini, tanpa ada tuntutan untuk harus memilih kembali dalam
pilkada. Ini sekadar ajakan, bukan pemaksaan, sebab – maksud si penutur (yang
tersingkap pada kalimat ketiga) – pilihan terserah pada bapak ibu (kalimat
ketiga).
Apabila
– karena lepas dari konteksnya – lalu diisi dengan pemaknaan yang lain,
misalnya, dikait-kaitkan dengan ihwal agama, ini akan menuai perkara. Sebab,
konteks dari pembicaraan keseluruhannya dan pada intinya sama sekali bukan
tentang ihwal agama.
Lalu,
siapa yang berbohong? Berdasarkan konteks kutipan secara keseluruhan, pembohong
yang dimaksudkan oleh si penutur adalah “orang”; hanya disebut secara umum,
tanpa nama. Akan tetapi, fokus perbincangan yang ramai beredar justru pada
kalimat penjelasnya, apalagi dilepaskan dari keterkaitan dengan kalimat pertama
– inti dari isi kutipan keseluruhan. Karena fokusnya pada bagian kalimat dengan
kata pakai, yang dicomot dari konteks yang utuh, maka menjadi runyam, ruwet dan
melebar, melantur kurang jelas tempat berpijaknya dan tak terkendali arah
pembicaraan pemaknaannya.
Yang
juga membahayakan adalah abai terhadap perbedaan mendasar antara ragam lisan
dan ragam tulis. Pernyataan yang dikutip di atas adalah pernyataan yang
diutarakan secara lisan tetapi kemudian dituliskan (lebih tepat:
ditranskripsikan) dan menjadi perbincangan yang berlangsung dengan lebih
berpijak pada hasil transkripsi pernyataan lisan. Belum lagi, pelaku
transkripsi adalah pihak lain, yang jumlahnya bisa lebih dari satu. Yang pasti,
bukan oleh si penutur sendiri, yang hanya ada satu. Akibatnya, terbuka peluang
penulisan secara khilaf atau secara rekayasa.
Ada
perbedaan besar antara memahami berdasarkan pernyataan yang didengarkan dan
yang dibaca. Telinga, dalam upaya memahami pernyataan lisan, hanya
berkesempatan satu kali saja. Sekali lewat tidak mungkin kembali. Tidak ada
kemungkinan mengulang (istilah kaset: rewind). Akan tetapi, mata – pada waktu
membaca – dapat melakukan pengulang-ulangan, balik ke kiri, kembali ke kanan
lagi secara berkali-kali sebanyak yang dikehendaki si pemilik mata.
Sebagai
teks pun juga berbeda antara pernyataan yang dilisankan dan yang dituliskan. Di
dalam pernyataan lisan, tidak dikenal huruf kapital dan tanda baca sehingga
dapat dipersoalkan – secara linguistik – ada berapa kalimat sesungguhnya
deretan kata pada pernyataan yang dikutip di atas. Apa tandanya bahwa deretan
kata tertentu merupakan satuan yang dapat disebut kalimat? Telinga tidak
menangkap huruf kapital atau tanda baca.
Lalu,
apa landasan yang dipegang oleh yang mentranskripsikan pernyataan lisan, yang
ketika dituliskan menjadi tiga kalimat? Apakah si penutur saat melisankannya
memang bermaksud menyampaikan gagasannya ke dalam tiga kalimat? Si pembuat
transkripsi menuliskannya ke dalam tiga kalimat berdasarkan panjang pendeknya
perbedaan sela atau jeda antarkata (pendek atau panjang), keras lembutnya suara
pada kata atau suku kata (tekanan kata), naik turunnya dalam melagukan suara
(intonasi).
Hanya
yang pertama yang dapat “diterjemahkan” dari wujud lisan ke wujud tulisan. Itu
pun berdasarkan tafsiran si pembuat transkripsi masing-masing. Tekanan kata dan
intonasi tidak ikut tertranskripsikan ketika dialihkan ke wujud tulisan;
padahal, ini penting dan tak teremehkan demi pemahaman makna secara utuh-seluruh.
Maka tak terhindarkan bahwa bisa terjadi proses pengurangan bahkan penghilangan
sebagian dari makna asali pada proses pentranskripsian.
Jadi,
siapa yang paling memahami makna asali dari pernyataan yang dikutip di atas?
Bukan yang mentranskripsikan. Bukan pula yang mendengarkan hasil rekaman video.
Bukan pula yang hanya membaca hasil transkripsi, apalagi yang hanya terbatas
pada bagian yang dikutip di atas saja. Yang paling memahami adalah mereka yang
langsung saat itu juga menghirup udara yang sama dengan si penutur pernyataan
lisan itu di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu, 27 September 2016.
Maka
tidaklah mengherankan apabila warga yang hadir di Pulau Pramuka itu menganggap
pernyataan lisan itu wajar-wajar saja. Yang memiliki peluang untuk
mempersoalkan adalah mereka yang tidak hadir bersemuka dengan si penutur saat
menuturkan pernyataan di atas itu. Kekurangbegitujelasan dan keambiguan makna
hanyalah mengemuka manakala konteks komunikasi yang sesungguhnya tidak lagi
tersedia.
Akan
tetapi, sesungguhnya, yang paling tahu apa makna yang disampaikan dengan
tuturan yang dikutip di atas hanyalah si penuturnya. Bahasa dengan seperangkat
perbendaharaan katanya, yang sebagian besar di antaranya terekam dalam kamus
bahasa, hanya lambang atau simbol yang tersedia untuk dipakai mengungkapkan isi
pikiran, pendapat, atau maksud penutur. Lambang tidak mungkin menyingkapkan
makna yang persis sama dengan yang dilambangkan. Dan, yang menetapkan makna apa
yang disampaikan (termasuk yang dimaksudkan) adalah si penutur.
Kesimpulannya:
manakala ada pertikaian mengenai makna, manakah pemaknaan yang paling benar dari
pernyataan yang dikutip di atas? Jawabannya hanya satu, yaitu makna yang
dimaksudkan oleh si penutur. Jika itu dicoba digali melalui pelbagai pihak yang
dianggap terkait, analisis linguistik termasuk salah satu faktor yang dapat
menjadi penentu. Kasus berikut dapat sekadar memberikan gambaran.
Kasus
pengadilan di Ann Arbor, Michigan, pada tahun 1978 (juga kasus-kasus serupa
selain di AS juga antara lain di Australia) barangkali dapat membuka wawasan
pemikiran. Seorang perawat keturunan Filipina, kelahiran AS dan fasih berbahasa
Inggris seperti penutur jati, oleh pengadilan setempat diputuskan bersalah
menjadi penyebab kematian salah seorang pasien rumah sakit. Seorang ahli
linguistik berdasarkan transkripsi percakapan selama proses pengadilan –
melalui analisis wacana, yang secara khusus kini dikenal dengan nama linguistik
forensik – dapat membuktikan bahwa tuturan tanya-jawab menunjukkan perawat itu
bukan pelakunya. Pada kasus ini hasil analisis linguistik diterima dan perawat
itu kemudian dibebaskan.