IKLAN

Rabu, 16 November 2016

BAHASA LEPAS KONTEKS: MENUAI PERKARA

BAHASA LEPAS KONTEKS: MENUAI PERKARA
Bambang Kaswanti Purwo
Guru Besar Linguistik Unika Atma Jaya
[spesialisasi: sintaksis, pragmatik dan wacana]

Bahasa, termasuk bahasa Indonesia, berpeluang untuk dipakai bermain dan juga untuk dimainkan atau dipermainkan. Tulisan “Kawasan Bebas Rokok”, misalnya, dengan hanya menambah me- pada rokok menjadi merokok, berubah berkebalikan maknanya. Papan iklan memanfaatkan peluang ini, misalnya, “Ini bir baru. Ini baru bir.”; “Terus terang Philips terang terus”. Kedua contoh permainan kata ini tidak menuai persoalan.

​Akan tetapi, kalau ada tindakan mencomot kata, rentetan kata, bagian kalimat, atau bahkan kalimat yang utuh pun, dalam arti dicerabut dari konteks dan situasi pemakaiannya, lalu menafsirkan makna merupakan tindakan tidak memahami hakikat dari bahasa. Makna bahasa bukan hanya berurusan dengan kosakata, sintaksis, atau semantik – yang dapat dibahas lepas konteks – tetapi menyangkut bidang linguistik yang disebut pragmatik dan wacana (discourse), yang – tidak dapat tidak – menuntut pertimbangan atas konteks pemakaiannya di dalam tindak komunikasi: siapa yang berbicara, kepada siapa disampaikan, di mana, kapan, dan pada suatuasi apa. Pencabutan bagian kalimat dari konteks komunikasinya menuai persoalan. Akibat merenggut bagian kalimat dari konteks asalnya itu membuka peluang masuknya pengait-ngaitan dengan pelbagai macam konteks lain yang arahnya dapat ke mana pun tanpa kendali, berpeluang menyimpang bahkan menjauh dari makna kontekstualnya semula – termasuk niat atau tujuan – yang sesungguhnya dimaksudkan oleh si penutur.​

​Di dalam semantik, yang berurusan dengan pemaknaan kata sebagaimana terekam di dalam kamus, dibahas makna kata yang tidak terikat pada konteks pemakaiannya. Kamus merekam potensi makna kata, misalnya, dengan makna kata yang lebih dari satu (polisemi), yang saling berdekatan makna (sinonim), berlawanan makna (antonim). Kata bank pada tuturan “Wait for me at the bank.” – lepas konteks – bermakna ganda atau ambigu; tempat pertemuan bisa di tepi sungai atau di gedung tempat menabung. Namun, hanya bermakna satu apabila dipakai di dalam konteks komunikasi.

​Salah satu pernyataan Ahok di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu, 27 September 2016, yang berikut ini, membuka peluang untuk dimainkan dan dipermainkan, ketika yang disoroti dan diperbincangkan adalah bagian kalimat yang lepas konteks, yang dicomot dari keseluruhan konteksnya secara utuh:

​Jadi, jangan percaya sama orang. Kan bisa aja dalam hati kecil bapak ibu nggak bisa
​pilih saya, karena dibohongi pakai Surat Al-Maidah 51 macem-macem itu. Itu hak
​bapak ibu ya ...

Pembicaraan berkisar di seputar bagian kalimat yang mengandung kata pakai dan berfokus pada pemaknaan kata ini, sampai melebar, melantur ke arah pemaknaan yang tak terkendali arahnya.

​Jika dipertanyakan apa makna kata pakai pada kutipan pernyataan di atas – secara terlepas dari konteksnya – jawabannya lebih dari satu: dapat bersinggungan makna dengan kata dengan dan oleh.

​Pertimbangkanlah pemakaian dalam pelbagai rentetan kata yang berkaitkan sama-dengan-oleh-pakai ini: “pergi sama ibu”–“pergi dengan ibu”; “ditangkap sama polisi”–“ditangkap oleh polisi”; “teh sama es”–“teh dengan es”–“teh pakai es”; “dipanasi dengan/oleh sinar matahari”; “diperciki dengan/oleh minyak zaitun”. Pelbagai kemungkinan rangkaian ini tidak dipersoalkan oleh para penutur bahasa Indonesia. Pemakaiannya bebas, leluasa, dapat dipilih yang mana pun karena maknanya kurang lebih sama dan tidak membahayakan.
​Jadi, kata pakai – secara lepas konteks – dapat bermakna ambigu: ‘dengan’ (keterangan cara) atau ‘oleh’ (keterangan pelaku) tetapi di dalam konteks seperti pada kutipan di atas hanya bermakna satu, yaitu ‘dengan’, bukan ‘oleh’. Ini juga terkait dengan pemaknaan sebagaimana yang dimaksudkan oleh si penutur, yang hanya dapat ditangkap berdasarkan konteks dan situasi pemakaiannya.

​Lalu, kalau kalimatnya berupa “dibohongi pakai Surat Al-Maidah 51”, apakah ini dapat diartikan bahwa Surat Al-Maidah 51 diperlakukan secara negatif oleh si penutur, dianggap ‘mengandung kebohongan’? Tidak. Pada kalimat itu Surat Al-Maidah 51 dipakai sebagai alat, dalam pengertian netral terhadap anggapan positif atau negatif.

​Bandingkan dengan kalimat “... dipukuli (sampai babak belur) pakai tongkat pusaka.” Apakah dalam kalimat ini “tongkat pusaka” mengandung unsur negatif? Tidak. Sebagai alat, “tongkat pusaka” itu netral, yang negatif adalah tindakan pelaku pemukulan.

​Pemaknaan tanpa pertimbangan pragmatik dapat berbahaya, apalagi tanpa mengikutsertakan pemaknaan berdasarkan pertimbangan wacana (discourse). Dalam penataan kalimat menjadi satu paragraf, makna inti dari seluruh paragraf terdapat pada kalimat pertama (“kalimat topik”). Namun, kalimat pertama pada kutipan di atas tidak menjadi titik pijak perbincangan. Fokus yang kini ramai berlangsung justru bertolak dari kalimat kelanjutannya, yang sebenarnya hanya merupakan penjelasan saja dari kalimat pertama. Yang terucap “jangan percaya sama orang”, yang dimaksudkan “bapak ibu jangan sampai mudah dibohongi”. Jangan sampai terpengaruh oleh suara-suara itu sampai menolak bantuan yang saya berikan. Terimalah bantuan ini, tanpa ada tuntutan untuk harus memilih kembali dalam pilkada. Ini sekadar ajakan, bukan pemaksaan, sebab – maksud si penutur (yang tersingkap pada kalimat ketiga) – pilihan terserah pada bapak ibu (kalimat ketiga).

​Apabila – karena lepas dari konteksnya – lalu diisi dengan pemaknaan yang lain, misalnya, dikait-kaitkan dengan ihwal agama, ini akan menuai perkara. Sebab, konteks dari pembicaraan keseluruhannya dan pada intinya sama sekali bukan tentang ihwal agama.

​Lalu, siapa yang berbohong? Berdasarkan konteks kutipan secara keseluruhan, pembohong yang dimaksudkan oleh si penutur adalah “orang”; hanya disebut secara umum, tanpa nama. Akan tetapi, fokus perbincangan yang ramai beredar justru pada kalimat penjelasnya, apalagi dilepaskan dari keterkaitan dengan kalimat pertama – inti dari isi kutipan keseluruhan. Karena fokusnya pada bagian kalimat dengan kata pakai, yang dicomot dari konteks yang utuh, maka menjadi runyam, ruwet dan melebar, melantur kurang jelas tempat berpijaknya dan tak terkendali arah pembicaraan pemaknaannya.

​Yang juga membahayakan adalah abai terhadap perbedaan mendasar antara ragam lisan dan ragam tulis. Pernyataan yang dikutip di atas adalah pernyataan yang diutarakan secara lisan tetapi kemudian dituliskan (lebih tepat: ditranskripsikan) dan menjadi perbincangan yang berlangsung dengan lebih berpijak pada hasil transkripsi pernyataan lisan. Belum lagi, pelaku transkripsi adalah pihak lain, yang jumlahnya bisa lebih dari satu. Yang pasti, bukan oleh si penutur sendiri, yang hanya ada satu. Akibatnya, terbuka peluang penulisan secara khilaf atau secara rekayasa.
​Ada perbedaan besar antara memahami berdasarkan pernyataan yang didengarkan dan yang dibaca. Telinga, dalam upaya memahami pernyataan lisan, hanya berkesempatan satu kali saja. Sekali lewat tidak mungkin kembali. Tidak ada kemungkinan mengulang (istilah kaset: rewind). Akan tetapi, mata – pada waktu membaca – dapat melakukan pengulang-ulangan, balik ke kiri, kembali ke kanan lagi secara berkali-kali sebanyak yang dikehendaki si pemilik mata.

​Sebagai teks pun juga berbeda antara pernyataan yang dilisankan dan yang dituliskan. Di dalam pernyataan lisan, tidak dikenal huruf kapital dan tanda baca sehingga dapat dipersoalkan – secara linguistik – ada berapa kalimat sesungguhnya deretan kata pada pernyataan yang dikutip di atas. Apa tandanya bahwa deretan kata tertentu merupakan satuan yang dapat disebut kalimat? Telinga tidak menangkap huruf kapital atau tanda baca.

​Lalu, apa landasan yang dipegang oleh yang mentranskripsikan pernyataan lisan, yang ketika dituliskan menjadi tiga kalimat? Apakah si penutur saat melisankannya memang bermaksud menyampaikan gagasannya ke dalam tiga kalimat? Si pembuat transkripsi menuliskannya ke dalam tiga kalimat berdasarkan panjang pendeknya perbedaan sela atau jeda antarkata (pendek atau panjang), keras lembutnya suara pada kata atau suku kata (tekanan kata), naik turunnya dalam melagukan suara (intonasi).

​Hanya yang pertama yang dapat “diterjemahkan” dari wujud lisan ke wujud tulisan. Itu pun berdasarkan tafsiran si pembuat transkripsi masing-masing. Tekanan kata dan intonasi tidak ikut tertranskripsikan ketika dialihkan ke wujud tulisan; padahal, ini penting dan tak teremehkan demi pemahaman makna secara utuh-seluruh. Maka tak terhindarkan bahwa bisa terjadi proses pengurangan bahkan penghilangan sebagian dari makna asali pada proses pentranskripsian.

​Jadi, siapa yang paling memahami makna asali dari pernyataan yang dikutip di atas? Bukan yang mentranskripsikan. Bukan pula yang mendengarkan hasil rekaman video. Bukan pula yang hanya membaca hasil transkripsi, apalagi yang hanya terbatas pada bagian yang dikutip di atas saja. Yang paling memahami adalah mereka yang langsung saat itu juga menghirup udara yang sama dengan si penutur pernyataan lisan itu di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu, 27 September 2016.

​Maka tidaklah mengherankan apabila warga yang hadir di Pulau Pramuka itu menganggap pernyataan lisan itu wajar-wajar saja. Yang memiliki peluang untuk mempersoalkan adalah mereka yang tidak hadir bersemuka dengan si penutur saat menuturkan pernyataan di atas itu. Kekurangbegitujelasan dan keambiguan makna hanyalah mengemuka manakala konteks komunikasi yang sesungguhnya tidak lagi tersedia.

​Akan tetapi, sesungguhnya, yang paling tahu apa makna yang disampaikan dengan tuturan yang dikutip di atas hanyalah si penuturnya. Bahasa dengan seperangkat perbendaharaan katanya, yang sebagian besar di antaranya terekam dalam kamus bahasa, hanya lambang atau simbol yang tersedia untuk dipakai mengungkapkan isi pikiran, pendapat, atau maksud penutur. Lambang tidak mungkin menyingkapkan makna yang persis sama dengan yang dilambangkan. Dan, yang menetapkan makna apa yang disampaikan (termasuk yang dimaksudkan) adalah si penutur.

​Kesimpulannya: manakala ada pertikaian mengenai makna, manakah pemaknaan yang paling benar dari pernyataan yang dikutip di atas? Jawabannya hanya satu, yaitu makna yang dimaksudkan oleh si penutur. Jika itu dicoba digali melalui pelbagai pihak yang dianggap terkait, analisis linguistik termasuk salah satu faktor yang dapat menjadi penentu. Kasus berikut dapat sekadar memberikan gambaran.

​Kasus pengadilan di Ann Arbor, Michigan, pada tahun 1978 (juga kasus-kasus serupa selain di AS juga antara lain di Australia) barangkali dapat membuka wawasan pemikiran. Seorang perawat keturunan Filipina, kelahiran AS dan fasih berbahasa Inggris seperti penutur jati, oleh pengadilan setempat diputuskan bersalah menjadi penyebab kematian salah seorang pasien rumah sakit. Seorang ahli linguistik berdasarkan transkripsi percakapan selama proses pengadilan – melalui analisis wacana, yang secara khusus kini dikenal dengan nama linguistik forensik – dapat membuktikan bahwa tuturan tanya-jawab menunjukkan perawat itu bukan pelakunya. Pada kasus ini hasil analisis linguistik diterima dan perawat itu kemudian dibebaskan.