Minggu, 02 Maret 2014

Frekwensi Menjadi Diri Sendiri

 
 
Frekwensi Menjadi Diri Sendiri
Oleh : Leonardo Rimba
2 Maret 2014


Seumur hidup saya cuma pernah satu kali menginap di Pura Besakih, itu juga dipaksa oleh Alam Semesta, di pertengahan tahun 1980, ketika saya kelas 1 SMA. Kemalaman keluar masuk banyak pura, yg saat itu masih berlantai tanah, dan belum ada kendaraan umum maupun pribadi yg keluar masuk selewat jam 6 sore. Menginaplah saya di pos hansip yg tentu saja juga kosong. Cuma ditemani para Dewa Dewi sehingga saya juga katam di Pura Besakih. Katam artinya tamat belajar, bukan berarti otomatis dewasa.

Kemerdekaan spiritual adalah kedewasaan spiritual. Orang spiritual yg dewasa mampu berpikir bagi dirinya sendiri. Kedewasaan spiritual menuntut kejujuran sejarah, seperti mengakui, al. bahwa Jakarta dibangun oleh orang Belanda dengan ribuan kuli yg didatangkan dari Cina. Makanya budaya asli Jakarta adalah budaya peranakan Cina. Musiknya musik Cina, yg dipengaruhi oleh musik Portugis. Tari-tariannya juga. Pakaiannya juga. Bahasanya bahasa Melayu dialek Jakarta. Bahkan nama penduduk asli Jakarta juga diambil dari bahasa Belanda, yaitu Batavia. Dari Batavia menjadi Betawi. Orang Betawi adalah keturunan kuli Cina yg didatangkan oleh Belanda, yg kawin dengan perempuan lokal. Agamanya Islam. Yg tetap beragama Toapekong juga ada.

Saya tidak percaya itu pepesan kosong yg bilang Jakarta didirikan oleh Pangeran Jayakarta. Itu omong kosong. Yg benar, Jakarta dibangun oleh orang Belanda dengan puluhan ribu kuli Cina yg didatangkan langsung, dan tidak pernah kembali lagi. Lelaki semua, dan semuanya kawin dengan perempuan lokal. Makanya orang Betawi asli tidak punya rasa kecemburuan etnis dengan orang Cina, karena masih satu keturunan. Walaupun agamanya beda, masih satu keturunan.

Kata ganti orang, yg sering disalah-kaprahkan sebagai bahasa Betawi, yaitu gua dan lu, adalah bahasa Hokkian. Salah satu dialek dalam bahasa Cina.

Cina Kota yg tinggal di daerah Glodok dan sekitarnya, kalau sudah ratusan tahun turun-temurun di daerah itu, juga punya campuran pribumi. Bahasanya bahasa Betawi, walaupun agamanya bukan Islam. Sama sekali tidak anti Islam. Menurut sejarah, tidak pernah ada kerusuhan rasial di Jakarta selama ratusan tahun, kecuali pemberontakan kuli Cina. Ratusan tahun lalu, ribuan kuli Cina bentrok dengan penguasa Belanda, dan akhirnya mereka diusir keluar kota. Makanya penduduk di sekitar Jakarta juga punya campuran keturunan Cina. Kalau tidak punya campuran Cina, orang Indonesia akan lebih terbelakang dari sekarang. Dari semua etnik keturunan asing di Jakarta, yg paling banyak kawin campur adalah etnik Cina, setelah itu etnik Arab dan Eropa, dan paling belakang adalah etnik India. Ini etnik-etnik Jakarta masa lalu yg masih bisa di-scan. Kalau tidak bisa di-scan lagi, atawa sudah merata, dinamakan orang Betawi. Agamanya Islam, tapi budayanya tetap saja budaya peranakan Cina. Dan Cina Betawi, karena bahasa sehari-harinya adalah bahasa Melayu dialek Betawi, berperan besar dalam perkembangan bahasa kita, yaitu bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia dikembangkan dari bahasa Melayu Pasar, atawa bahasa Melayu yg dipakai oleh keturunan Cina. Orang-orang Cina peranakan adalah komunitas yg pertama-kali secara konsisten menggunakan bahasa Melayu.

Orang Betawi susah maju karena banyak larangannya. Adat budayanya seperti itu, dari keluarga banyak larangan; tidak boleh begini, tidak boleh begitu. Menurut saya, itu adat Cina juga aslinya. Adat Cina yg terbelakang, masih kental di kalangan orang Betawi, makanya susah maju.

Dari semula Batavia atawa Betawi adalah kota metropolitan, pluralis. Ada banyak komunitas. Komunitas Orang Betawi adalah mereka yg berbahasa Melayu dan beragama Islam, dan sudah ratusan tahun turun temurun tinggal di Betawi. Leluhurnya dari Cina. Tapi sudah tidak bisa ditelusuri lagi karena Cina Islam tidak memperdulikan leluhur. Kesenian yg dibilang asli Betawi adalah kesenian Cina Peranakan. Ada campuran Portugis juga.Tetapi itu tetap saja kesenian Cina Peranakan yg memang mencampur-adukkan kesenian yg dibawa dari tanah asal dengan kesenian Portugis, terutama seni musiknya. Pakaiannya jelas pakaian Cina, terlihat dari pakaian penari-penari Betawi. Pakaian adat pengantin Betawi adalah pakaian pengantin Cina. Itu untuk yg perempuan. Kalau yg lelaki mungkin pakai busana ala Arab. Bagian dari politik pemecah-belahan masa lalu adalah mengagungkan kesenian Betawi "asli". Seolah-olah Betawi muncul sendiri, tanpa ada asal-usul. Pedahal Betawi memang asli keturunan dari puluhan ribu kuli Cina yg didatangkan oleh Belanda. Semuanya datang tanpa perempuan. Kawin dengan perempuan lokal. Yg beragama Islam kemudian berbaur menjadi Suku Betawi. Yg beragama Toapekong tetap menjadi Cina. Namanya Cina Betawi.

Itu saja, kalau sudah mau diakui akan menjadi satu kemajuan tersendiri.  Artinya, kita mengakui bahwa asal usul orang Betawi adalah keturunan dari kuli-kuli Cina itu. Kalau kemudian bercampur-baur dengan orang-orang pribumi lainnya yg datang ke Jakarta, itu tentu saja benar juga. Tapi asal-usulnya tetap, yaitu keturunan kuli Cina. Kalau tidak begitu, itu puluhan ribu kuli Cina yg dibawa Belanda ke Batavia jadi apa? Apa mati tanpa keturunan?

Kita bisa asumsikan separuh membaur menjadi pribumi yg dikenal sebagai Suku Betawi sekarang ini, atau lebih tepat lagi asal usul Suku Betawi, karena ada campuran lagi dengan berbagai macam pendatang. Kriterianya satu, yaitu agama Islam. Tapi adatnya tetap. Adat Suku Betawi yg banyak larangan itu adalah adat Cina. Pegang teguh etika adat istiadat, walaupun dengan alasan agama. Alasan sebenarnya adalah adat. Kejujuran memang pahit. Tapi apa pahitnya disini? Kalau mata anda jeli, dan tidak juling, dengan sebentar saja mengamati keturunan Betawi asli, anda akan lihat ciri-ciri Cina di wajah dan kulit mereka. Cara bicaranya juga sama dengan cara bicara Cina Betawi. Itu cara bicara halus. Dianggap kasar oleh bagian lain di Indonesia, tetapi dalam konteks Betawi, itu gaya bicara halus. Perhatikan keseniannya, yg dibilang kesenian Betawi asli itu kesenian Cina, campur dengan Portugis. Perhatikan baju adatnya. Itu modifikasi dari baju adat Cina. Perhatikan baju penari-penarinya. Perhatikan cara memanggil kerabat, yg banyak pakai perbendaharaan kata Cina (atau tepatnya Hokkian). Mak artinya nenek di bahasa Betawi, itu bahasa Hokkian. Kong artinya kakek di bahasa Betawi. Bahasa Hokkian juga.

Mengakui asal-usul kita dan menerimanya dengan lapang dada termasuk bagian dari praktek pluralisme. Kita menjadi di tengah. Tidak ekstrim kiri dan ekstrim kanan.

Saya seorang pengamat budaya. Saya perhatikan, bahkan di Jakarta Kota, tempat-tempat hiburan seperti nightclubs dan karaoke yg notebene pengunjungnya adalah peranakan Cina, ternyata sudah bertahun-tahun mengedepankan musik asli berbahasa Mandarin. Mungkin sudah tidak ada lagi itu Dendang Melayu yg dianggap terlalu kampungan. Pedahal Dendang Melayu adalah musik Cina dengan kata-kata berbahasa Melayu. Pertama kali dipopulerkan olehPeranakan Cina. Tetapi karena peranakan Cina di Indonesia di-diskriminasi, akhirnya di-stereotype-kan lah bahwa budaya peranakan Cina adalah budaya tradisional Indonesia, dan peranakan Cina harus berorientasi ke budaya Cina yg asli, tanpa campuran Indonesia. Aneh sekali. Permainan stereotypes yg, mungkin, dinikmati oleh banyak orang.

Di Singapura ada Museum Peranakan. Disini semua artefak budaya Cina Peranakan dikumpulkan. Mungkin kita nanti harus ke Singapura untuk mempelajari asal usul Peranakan Cina di tiga negara: Indonesia, Malaysia dan Singapura. Pedahal faktanya, komunitas Cina peranakan paling besar berada di Indonesia, terutama di Pulau Jawa. Dan budaya yg dikembangkan oleh Cina peranakan di Jawa sudah diakui sebagai budaya asli Indonesia. Memang asli, asli dikembangkan di Indonesia, oleh orang peranakan, yaitu keturunan pendatang dari Cina yg menikah dengan penduduk lokal.

Singapura dan Malaysia bisa begitu cepat maju dan relatif kaya karena komposisi keturunan Cina di negara mereka besar sekali. Mungkin relatif banyak totoknya juga, yg memang lebih ulet bekerja dibandingkan orang peranakan. Populasi Peranakan Cina di Indonesia mungkin paling banyak cuma 5%. Bandingkan itu dengan jumlah sekitar 30% di Malaysia, dan 70% di Singapura.

Bisa juga diajukan proposisi bahwa Peranakan Cina dan Indo Belanda adalah orang-orang nasionalis yg pertama secara konkrit, karena budaya mereka merata, tidak terikat kepada salah satu etnik.

Borjuasi atau kelas menengah juga baru mulai muncul di Indonesia. Perlu jumlah cukup borjuasi untuk bisa mulai berdampak. Sekarang sudah mulai, walaupun masih malu-malu kucing. Penciptaan pemerintahan bersih dan demokrasi yg jujur merupakan gerakan borjuasi. Penegakan HAM juga. Reformasi hukum juga. Semuanya masih berjalan, dan dihalang-halangi oleh mereka yg mau mengeruk keuntungan sebesar-besarnya dari kekalnya kebodohan di masyarakat.

Yg suka memaksa untuk menganut suatu kepercayaan tertentu adalah orang Indonesia. Belanda tidak pernah memaksakan kepercayaannya agar dianut orang lain. Belanda negara paling liberal bahkan sejak ratusan tahun lalu. Agama adalah urusan individu masing-masing. Makanya kita bisa terheran-heran melihat pemikiran founding fathers kita, Moh. Hatta, Sutan Syahrir, bahkan HB IX. Mereka itu didikan Belanda semuanya. Mereka bisa berpikir seperti orang Belanda. Secara obyektif, Belanda itu kolonialis yg enlightened atau tercerahkan. Kenapa? Karena kolonialis yg rese juga ada, yaitu orang Spanyol dan Portugis. Spanyol dan Portugis selalu mengkristenkan kawula jajahan. Belanda tidak. Spanyol itu rampok asli, ingat berapa banyak emas dari Mexico yg mereka angkut? Penduduknya dibunuh, rakyatnya dijadikan budak, dan emasnya diangkut ke Spanyol. Dalam bidang kebudayaan, Spanyol dan Portugis juga selalu memaksakan bahasa mereka untuk dipakai. Belanda tidak. Orang Belanda lebih memilih untuk berbicara dengan bahasa kita. Bahasa Belanda cuma untuk elite saja. Orang Belanda tidak punya rasa nasionalisme fanatik dari dahulu sampai sekarang. Mereka bangsa yg rasional, berjiwa pedagang.

Patung-patung Hindu dan Buddha dari Indonesia yg paling bagus sekarang ada di Belanda. Terawat baik. Beberapa tahun lalu, Belanda mau mengembalikan satu patung, dan dipilihlah satu patung yg paling bagus dari antara patung-patung Indonesia yg ada di Belanda. Patung itu adalah Pradnya Paramita yg sekarang ada di Ruang Pusaka di Museum Nasional, Jakarta. Ketika anda memasuki Ruang Pusaka itu, anda akan langsung lihat Pradnya Paramita. Itulah satu-satunya patung Indonesia yg dikembalikan oleh Belanda. Yg saya sesalkan cuma satu, yaitu Belanda pernah menghadiahi Raja Thailand dengan 8 gerobak patung Buddha dari Borobudur. Pedahal Buddha Borobudur adalah yg terindah dari semua Buddha yg ada di dunia. Bahkan lebih bagus dari Buddha India, Cina atau Jepang. Dan kalau sudah jadi koleksi raja Thailand turun-temurun sampai sekarang, jelas tidak bisa balik lagi ke Indonesia. Naskah asli Negarakertagama juga masih ada di Belanda. Naskah itu diketemukan di keraton Cakranegara ketika Belanda menyerbu Mataram, Lombok Barat. Kerajaan Cakranegara beragama Hindu Bali, dan mereka ternyata masih menyimpan naskah itu yg, bahkan di Jawa sendiri sudah tidak ada. Waktu itu Puri Cakranegara di Lombok melakukan puputan, atau membakar seluruh isi puri ketika Belanda datang menyerbu. Untung naskah itu bisa diselamatkan karena Belanda selalu membaw aahli sejarah dan naskah kuno ketika melakukan ekspedisi militer.

Belanda sudah memulai program pencerdasan penduduk Indonesia bahkan sebelum Perang Dunia II pecah. Karya-karya tulis asli berbahasa Melayu (Indonesia) sudah diterbitkan dan dipakai di sekolah-sekolah untuk pribumi. Angkatan Pujangga Baru diorbitkan oleh Belanda sebelum Indonesia merdeka. Jadi, di Indonesia, Belanda menggunakan dua bahasa. Untuk rakyat kebanyakan, digunakan bahasa Melayu. Bahasa Belanda cuma digunakan di kalangan terbatas. Dan bahasa Melayu (Indonesia) itu dipopulerkan oleh Belanda sendiri. Mungkin, waktu itu Belanda mau bertahan di Indonesia lebih karena alasan emosional karena banyak orang Belanda punya darah Indonesia. Bukan karena pertimbangan untung rugi. Tapi jangan pula lupa bahwa Belanda terus menerus "menyubsidi" Indonesia selama puluhan tahun sampai sekarang. Bagian terbesar dari bantuan luar negeri Belanda selalu diberikan untuk Indonesia. Dan di seluruh dunia, Belanda adalah negara teladan dalam memberikan bantuan luar negeri. Bahkan AS mengakui itu. Menurut saya, Belanda berusaha keras untuk mencerdaskan penduduk Indonesia tetapi dihalang-halangi oleh kaum ningrat pribumi. Bisa dibaca kesaksian dari Ibu Kita Kartini tentang itu.

Ada dansa-dansi dari Maluku Selatan yg disebut Katreji. Saya bilang, aslinya ini dansa-dansi orang Portugis. Pastilah dibawa dari markas besar orang Porto di Melaka, dan masuk ke Maluku Selatan, lengkap dengan busana perempuan dan lelakinya. Busana perempuannya bukan busana Portugis, melainkan kebaya peranakan Cina. Yg busana Portugis pakaian prianya. Dansa-dansi ini juga dikenal di Sulawesi Utara, sekarang sudah dianggap tarian asli, pedahal merupakan adaptasi (langsung atau bulat-bulat) dari budaya Portugis. Di Sulawesi Utara malahan lebih gila lagi, perempuannya pakai busana panjang gaya Eropa, dan lelakinya pakai topi. Berarti, orang Portugis menemukan jalan laut rahasia ke tempat pusat rempah-rempah bukanlah isapan jempol, melainkan fakta tak terbantahkan. Dan pusat rempah-rempah adanya di kepulauan ini, yg belakangan disikat oleh Belanda. Portugis ditendang sampai tinggal punya wilayah sepotong di Timor bagian Timur. Dan Spanyol ditendang ke Utara, ke Philipina. Dalam perkembangannya orang Maluku Selatan dan orang Sulawesi Utara tidak merasa dijajah oleh Belanda. Setahu saya begitu situasinya. Orang Ambon dan orang Manado termasuk mereka yg secara salah kaprah disebut orang mardijkers (= merdeka). Artinya orang-orang yg tidak diperintah oleh penguasa-penguasa pribumi. Mereka orang bebas. Bisa berbicara langsung dengan orang Belanda tanpa perlu menunduk-nunduk seperti orang di Jawa. Dansa-dansi semacam ini di jaman Bung Karno disebut Tari Lenso. Bung Karno gandrung sekali dengan Tari Lenso.

Pengalaman etnik-etnik Indonesia menghadapi pemerintah kolonial Belanda juga beda-beda. Tidak sama.  Saya keturunan orang yg memang sudah turun-temurun bisa bicara setara dengan orang Belanda. Tidak minder. Tidak perlu menunduk-nunduk. Saya sudah mardijkers bergenerasi-generasi. Thesisnya, orang-orang di Jawa begitu ngebet sama Belanda, mengira benar-benar ditindas, pedahal yg menindas mereka adalah para priyayi mereka sendiri. Mungkin. Dan walaupun umumnya orang spiritual, priyayi Jawa tidak mau membuka rahasia meditasi mata ketiga. Mungkin juga karena tidak tahu dan tidak mengerti.

Meditasi mata ketiga tidak lain dan tidak bukan cuma penurunan frekwensi gelombang otak. Gelombang otak kita turun dalam waktu yg sesingkat-singkatnya, menggunakan trik permainan bola mata. Tarikan napas kita akan semakin lama semakin perlahan, dan itu di-induksi oleh bola mata kita yg menatap  terus ke arah atas, dengan kelopak mata setengah terpejam. Itu cara tercepat untuk menurunkan gelombang otak, dan bukan cara-cara sadis atawa penyiksaan diri sendiri dan orang lain melalui pengamatan napas. Anda bisa saja menurunkan gelombang otak anda dengan cara memperhatikan napas. Tapi saya tidakpakai cara itu. Saya suka cara yg paling sederhana, paling cepat, dan paling bisa dinikmati.

Saya tertawa untuk menurunkan gelombang otak orang. Itu teknik attunement saya. Semakin gelombang otak turun, rasanya semakin blank. Melihat seperti tidak melihat. Tertawa tanpa tahu apa yg ditertawakan. Bicara tanpa tahu apa yg dibicarakan. Saya tidak pernah tahu ada orang lain yg bisa bikin gelombang otak orang lain turun. Bahkan Romo guru saya yg dari Yogya juga tidak bisa. Saya bisa. Karena saya bisa menurunkan gelombang otak orang sampai mencapai level samadhi hanya dengan cara ngobrol-ngobrol saja selama 30 menit sampai 60 menit, maka saya tidak pernah merasa kesulitan memandu meditasi. Kalau saya teruskan bicara, maka gelombang otak saya akan turun terus, mencapai frekwensi Theta dan bahkan Delta, yaitu frekwensi otak tidur lelap. Tapi tetap melek dan sadar. Yg mendengarkan saya bicara juga tetap melek dan sadar. Itulah frekwensi kun fayakun. Anda tinggal ucapkan saja apa yg anda inginkan, dan tinggal ditutup dengan ucapan amin.

Ada yg bertanya: "Mas Leo, saya pernah belajar dan mengikuti aliran tentang manunggaling kawula gusti (MKG). Salah satunya diajarkan bagaimana kita dalam melakukan seks tidak sembarangan (walaupun dengan istri kita), harus mendapat ijin Pangeran. Untuk mendapat ijin tsb kita harus rajin meditasi/ zikir dan membersihkan diri dari hal-hal yg negatif. Apakah manunggaling kawula gusti memang seperti itu ya, Mas Leo?"

Itu MKG versi mereka, jawab saya. Versi saya adalah yg biasa-biasa saja. Tanpa berbuat apapun, anda sudah manunggaling. Memang dari awal sudah manunggaling, dan selalu akan manunggaling. Manunggaling artinya menjadi tunggal atawa menyatu. Manunggaling kawula gusti artinya penyatuana ntara kawula dan gusti, hamba dan tuan. Versinya banyak, saya sendiri berpendapat MKG adalah menjadi diri sendiri. Kawula adalah diri kita, Gusti diri kita juga. Menyatu antara saya dan saya sendiri. Artinya tidak terpecah atau galau memusingkan tetangga.


Pusat hati nurani ada di kepala. Bukan di dada. Seharusnya, orang yg manunggaling kawula gusti atau merasa Allah berbicara kepadanya mengakui bahwa ada suara yg masuk di kepalanya. Saya sama sekali tidak anti orang beragama. Saya bisa mengerti cara berpikirnya. Kalau bisa, saya ingin mendorong orang untuk mengalami sendiri tentang Allah yg hidup di dalam kesadarannya, di dalam pikirannya, di kepalanya; dan bukan Allah yg ada di dalam ayat-ayat. Ayat-ayat itu mati, tetapi roh hidup. Roh itu kesadaran anda. Allah hidup di dalam kesadaran anda. Saya tidak percaya cuma Syekh Abdul Qadir Jaelani yg bisa mencapai tahap pengertian dan penghayatan bahwa Allah hidup di dalam kesadarannya. Saya percaya setiap orang dari kita bisa seperti itu.

Hati nurani letaknya di kepala, bukan di dada.

Kalau muncul di kepala, istilahnya intuisi. Instinct lain lagi. Instinct adalah naluri. Lapar, haus, gatel pengen ngesex adalah contoh instinct. Kalau anda merasa tertuntun untuk add saya di facebook, maka itu jelas intuisi, bukan instinct. Intuisi anda menuntun anda untuk menemukan saya. Kenapa? Karena ada frekwensi yg menyambung. Kenapa menyambung? Karena ada yg sinkron. Ada azas sinkronisitas yg bekerja.

Saya pertama-kali tahu tentang azas sinkronisitas dari buku the Celestine Prophecy. Sinkron, sambung-menyambung. Kita cuma tahu satu langkah ke depan, setelah itu apa kita tidak tahu. Tapi kita melangkah dengan yakin karena tahu prinsip sinkronisitas selalu bekerja. Sama saja seperti kita melangkah dengan satu kaki, dan bukan dua kaki sekaligus. Kita melangkahkan satu kaki karena kita tahu setelah itu kaki berikutnya akan melangkah lagi. Ini wajar saja, seperti itu bekerjanya, bahkan tanpa perlu bilang ada Allah ygmengawasi. Allah cuma ada di dalam pikiran. Konsep pembantu. Bisa dipakai kalaumau. Bisa juga tidak dipakai. Baik pakai Allah maupun tidak, manusia hidup. Hidup dan berjalan mengikuti pergerakan alamiah. Lahir, bertumbuh, kawin dan mati. Berpikir, merasa, mengambil keputusan, berubah. Makin lama manusia makin mendekati konsep Allah yg dipercayainya. Kalau konsep Allahnya bagus, manusianya jadi bagus. Kalau konsep Allahnya jelek, manusianya jadi jelek. Allah dikonsepkan oleh manusia. Manusia primitif mengkonsepkan Allah yg primitif. Manusia paska modern mengkonsepkan Allah yg supra modern.

Walaupun gemar pakai kata Allah, belum tentu orangnya bisa akses energi Allah. Kalau pakai hati, dan menolak pakai kepala, bagaimana bisa akses energi Allah? Allah diakses lewat meditasi di cakra mata ketiga. Di kepala, dan bukan di dada. Kalau cuma di dada, orangnya akan bersandar kepada kepercayaan yg sudah jadi. Berpegang erat, dan tidak berani dilepaskannya, karena kalau dilepaskan, maka tidak ada lagi apa-apa disana. Mereka yg bisa naik ke kepala dan meditasi disana tidak begitu. Mereka akan bisa langsung menyedot energi Allah. Dari mata ketiga mereka sendiri. Energi Allah tidak lain merupakan energi alam semesta, ditarik lewat cakra mata ketiga manusia. Kalau manusianya sudah mampu, maka energi yg ditarik dari alam itu bisa dibagikan kepada orang lain juga. Bukan hanya untuk diri sendiri, melainkan untuk tetangga juga.

Paska modern juga cuma istilah saja. Di era paska modern, kepala rumah tangga bukan pria semata, melainkan siapa saja yg mau dan bisa. Banyak rumah tangga di era paska modern memiliki dua kepala. Manusianya ada dua, maka kepalanya ada dua. Manusia dua orang yg mengepalai rumah tangga itu bisa berjenis kelamin pria dan wanita, bisa juga pria dan pria, dan bisa juga wanita dan wanita. Segalanya bisa saja, dan eksplorasi hal seperti itu merupakan sebagian tantangan yg dihadapi oleh mereka yg telah hidup di era paska modern. Pertanyaannya sekarang, apakah Indonesia ini paska modern atau modern? Jawab: Tergantung.

Tergantung manusianya sendiri.

Kalau masih mau mengharapkan segalanya ditentukan oleh role playing dengan mengikuti paradigma modern, maka artinya kita masih hidup di era modern. Kalau mau mengikuti role playing dengan paradigma paska modern, maka jadilah pasla modern. Paska modernitas ditentukan oleh kemauan. Kalau manusianya mau, maka jadilah itu. Kalau mau menikah, ya menikahlah. Kalau tidak mau, ya tidak usahlah. Dan itu berlaku bagi semua, baik pria maupun wanita. Di era modern, yg namanya pilihan merupakan suatu kemewahan karena semua orang akan bilang bahwa kita ditentukan. Segala pilihan di era modern ditentukan. Cara berpakaian ditentukan, cara berbicara ditentukan, bahkan cara berpikir juga ditentukan. Tetapi paska modern membalikkan paradigma itu dengan mengatakan bahwa segalanya adalah pilihan. Kalau seorang wanita merasa harus menikah, dan ternyata setelah menikah merasa bahwa pilihannya salah, akhirnya si wanita akan bisa berbalik peran dan menjadi "pria", dalam tanda kutip. Artinya, secara simbolik menjalani peran sebagai seorang pria, atau menjadi maskulin. Menjadi seorang single parenta dalah perbuatan yg sangat maskulin, contohnya. Banyak wanita yg single parent, sebagai ibu sekaligus ayah bagi anak-anaknya. Feminin sekaligus maskulin walaupun, menurut saya sendiri, single parenthood lebih banyak maskulinnya.

Pada pihak lain, banyak pula pria yg ternyata manja, mencari kasih sayang kemana-mana, dari satu wanita ke wanita lainnya tanpa memperdulikan tanggung-jawab. Nah, kelakuan seperti itu lebih banyak sifat femininnya walaupun manusianya sendiri straight dalam orientasi seksual. Walaupun 100% hetero, kelakuan yg mencari tempat curahan hati dari satu wanita ke wanita lainnya merupakan sifat yg feminin. Maskulinitas dan femininitas disini bukan merupakan sesuatu yg positif maupun negatif, tentu saja; segalanya netral dan cuma merupakan kecenderungan saja. Kalau cenderung untuk mandiri, maka artinya lebih banyak maskulinnya. Kalau cengeng dan suka mencari perhatian, maka cenderung feminin. Nah, kalau pengertian jujur seperti itu yg kita pakai, maka akan tampaklah bahwa banyak wanita yg lebih maskulin daripada pria. Dan banyak pula pria yg lebih feminin daripada wanita. Lalu akhirnya bagaimana?

Akhirnya ya dijalani saja. Kalau seorang wanita menikmati untuk bersifat maskulin, ya jalani sajalah. Dari dahulu banyak wanita yg lebih mandiri daripada pria, tetapi tidak diakui atau bahkan ditekan oleh lingkungannya. Sekarang juga masih. Banyak wanita mandiri akan ditekan dengan segala macam cara oleh lingkungannya. Dan itu normal saja. Lingkungan sekitar selalu akan merasa terancam oleh kemandirian seorang wanita. Dan lingkungan yg terancam seperti itu menandakan bahwa itu adalah lingkungan modern. Kalau sang wanita mau tunduk terhadap desakan lingkungan yg berargumen segala macam, yg intinya bahwa wanita harus menerima kodrat, artinya wanita itu masih modern pula.

Kalau si wanita tidak mau menerima segala macam argumen berdasarkan kodrat yg notebene merupakan ideologi bagi pria dan untuk pria dengan cara mengorbankan wanita, maka si wanita akan jalan terus saja. Dia akan bilang so what gitu lho! Dan wanita yg seperti itu sudah cukup banyak di Indonesia, terutama di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Bandung, Yogyakarta. Lalu, apakah sebenarnya kita sudah masuk era paska modern? Mungkin sebenarnya sudah, tetapi tidak sekaligus. Era berganti melalui suatu proses, ada yg berjalan. Ada yg sudah masuk, dan ada yg masih tertinggal. Ada yg tertinggal sedikit, dan ada yg tertinggal banyak. Dan itu normal saja. Kenapa harus memaksakan diri? Kalau diri sendiri merasa sudah berada di era paska modern, ya jalan saja. Mengapa kita harus mengkhotbahi orang lain yg masih harus berkutat dengan perjuangan gender, contohnya.

Spiritualitas bukanlah agama, melainkan hal bagaimana kita menjalani hidup kita masing-masing. Segala sesuatu yg berkaitan dengan kesadaran kita sebagai manusia, jatuh bangun kehidupan kita sebagai manusia, dan rasa koneksitas kita dengan sesuatu yg kita anggap sebagai Allah merupakan spiritualitas. Dan spiritualitas tidak harus berkaitan dengan agama. Kalau mau dikaitkan tentu saja bisa. Kalau mau tidak dikaitkan juga bisa. Kalau mau dilepaskan total dari agama juga bisa. Inilah era pasla modern dimana spiritualitas bisa dilepaskan dari agama. Di era modern, kebanyakan orang belum berani untuk melepaskan spiritualitas dari agama karena takut akan kehilangan arah. Ternyata kita sekarang telah membuktikan sendiri bahwa spiritualitas bisa, dan mungkin harus dilepaskan dari agama.

Spiritualitas di era paska modern adalah pengertian bahwa segalanya merupakan pilihan. Ada banyak tantangan yg, antara lain berasal dari orang yg masih bingung dan mau memaksakan pendapatnya agar manusia lain tertib masuk dalam kategori agama yg ada. Pedahal, banyak dari kita sudah merasa gerah dengan segala macam ajaran maupun praktek di dalam agama sehingga akhirnya kita membuat agama sendiri saja. Di dalam era modern, membuat agama sendiri dibilang sesat. Dalam era paska modern, segala sesuatunya dimungkinkan. Kita bisa membuat apapun yg kita percayai, dan kita sendiri juga yg menjalaninya. Kita bertanggung-jawab terhadap apapun yg kita percayai dan jalani yg, sebenarnya, lebih jujur daripada membeo segala ucapan orang lain yg jelas sudah tidak relevan dengan apa yg kita butuhkan.

Manusia bergerak semakin lama semakin menjadi insan yg rohaniah atau spiritual. Bergeraknya bukan ke arah agama institusional, tetapi ke dalam praktek menghayati spiritualitas masing-masing. Kultivasi spiritualitas bermacam ragam prakteknya, dan segalanya valid. Itulah essensi dari spiritualitas pasla modern, yaitu kita menentukan jenis spiritualitas apa yg akan kita kultivasikan. Kita menjadi diri sendiri saja tanpa perlu ikut-ikutan orang lain. Apapun yg anda pahami dan praktekkan, yakinlah bahwa anda tidak salah. Selama anda bisa merasa sehat secara psikologis dan spiritual, ya jalan saja dengan pendapat anda. Kurang lebih seperti itulah prinsip universalitas yg diterapkan dalam era paska modern. Tidak ada salah ataupun benar disini, melainkan pilihan.

Ada orang yg mau bertahan pada satu pegangan sehingga sedikit-sedikit merasa tersinggung. Kalau orang tersinggung, maka itu merupakan masalah di diri orang itu sendiri. Pegangannya terlalu gede sehingga gede tersinggung juga. Kalau tidak memegang apapun seperti saya, apa yg bisa disinggung? Kesimpulan saya: spiritualitas di era paska modern adalah pilihan yg terbuka. Apapun bisa dipilih dan dijalani oleh manusianya tanpa kita perlu merasa risih atas pilihan yg diambil oleh orang lain. Spiritualitas adalah urusan pribadi dari setiap manusia, dan bukan untuk diperdebatkan kebenaran atau ketidak-benarannya. Segala yg dipercayai manusia sah saja, karena berlaku bagi dirinya sendiri.

Dalam era paska modern banyak juga terjadi re-introduksi nilai tradisional yg dikaji kembali dan diberikan pemahaman baru. Gerakan New Age yg muncul di Barat dan sekarang sudah makin marak juga di Indonesia sebenarnya bukan membawakan sesuatu yg baru, melainkan lama. Segala jenis spiritualitas yg dianggap eksotik di Barat dianggap sebagai bagian dari New Age, pedahal di tempat aslinya mereka semua merupakan hal yg lama. Sebenarnya harus disebut sebagai Old Age. Pemahaman spiritual yg berasal dari Indonesia seperti Kejawen dalam berbagai alirannya akhirnya dianggap sebagai bagian dari spiritualitas New Age oleh mereka yg tinggal di Barat.

Kita sendiri sampai sekarang tidak menganggap kepercayaan tradisional Indonesia sebagai New Age atau bagian dari spiritualitas paska modern. Tetapi di Barat ternyata kepercayaan tradisional Indonesia dianggap termasuk. Termasuk sebagai spiritualitas paska modern. Spiritualitas paska modern bisa juga berarti hal-hal yg berasal dari tradisi non Judeo-Christian. Aliran-aliran kepercayaan dari India, Cina, Jepang, Indonesia, dll dianggap New Age karena bukan merupakan bagian dari tradisi Judeo-Christian. Dianggap baru juga karena diasumsikan bahwa kepercayaan asli dari Asia bersifat toleran sebagai anti-thesis dari tradisi Judeo-Christian yg tidak toleran. Spiritualitas paska modern sangat toleran. Manusia bisa dan berhak percaya apapun yg ingin dipercayainya.

Tradisi Judeo-Christian tidak seperti itu. Aslinya tradisi Judeo-Christian sangat tidak toleran terhadap perbedaan pendapat. Tetapi bagi mereka yg sudah hidup di masa paska modern, era Judeo-Christian sudah berlalu. Sekarang sudah masuk era paska modern dimana yg menjadi paradigma adalah toleransi. Kita bisa toleran terhadap apapun yg mau dipercayai dan dipraktekkan oleh orang lain. Segalanya itu valid bagi manusianya sendiri.

Tradisi Judeo-Christian sekarang telah berkembang begitu pesat dalam berbagai samaran barunya lagi seperti Humanisme, Liberalisme, Marxisme, Sosialisme, Environmentalisme, Human Rights Movement, Feminisme, Agnostisme, Atheisme dan berbagai isme-isme paska modern lainnya. Kalau diurutkan, semuanya berasal dari ide-ide Yahudi yg dibungkus dengan cara berpikir ala Yunani. Namanya tradisi Judeo-Christian.

Allah di dalam tradisi Barat adalah Acynthia di dalam Hindu Bali. Acynthia ini adalah yg tak terperikan. Tidak bisa didefinisikan. Ada karena memang ada. Yg bisa didefinisikan itu Dewi Saraswati, Dewa Ganesha, Dewa Brahma, Dewa Wisnu, Dewa Siwa, Dewi Durga. Dewa Dewi itu asma kalau dalam bahasa Arab, percikan sifat illahi. Sedangkan yg illahi itu sendiri tetap tidak bisa diuraikan. Tetap ada dan utuh walaupun manusia sudah menemukan berbagai macam manifestasinya yg disebut sebagai Dewa Dewi di dalam Hinduisme, atau sifat-sifat Allah di dalam Yudaisme dan Kristen, atau asma Allah di dalam Islam.

Dalam Taurat Musa dituliskan kisah ketika Musa bertanya kepada Allah: Siapakah namamu?  Dan Allah menjawab: Eheieh asher eheieh. Artinya: I shall become what I shall become. Aku akan menjadi apa yg aku akan menjadi. Bisa juga diartikan: I am what I am. Atau aku adalah aku.


Semuanya filsafat saja, bukan?

Allah punya sejarah. Sama seperti Acynthia dalam Hinduisme, dia ini ada karena dia ada. Cuma itu pengertian pokoknya. Setelah Allah ada berbagai nama yg semuanya merupakan uraian atau sifat. Di dalam Hinduisme, ini paralel dengan nama para Dewa Dewi.

Ada El Echad (Allah yg satu).

Ada El Shaddai (Allah yg utuh).

Ada El Hanne'eman (Allah yg setia).

Ada El Ernet (Allah yg benar).

Ada El Tsaddik (Allah yg adil).

Ada El Elyon (Allah yg maha tinggi).

Ada El Olam(Allah yg abadi).

Ada El Roi (Allah yg mengamati saya).

Ada El Yeshurun, El Gibbor, El De'ot, dll.

Allahitu Acynthia di dalam Hinduisme. Tidak terperikan. Tidak terdefinisikan. Dalam Buddhisme Theravada, Allah mungkin Nibbana. Sama, tidak terdefinisikan. Yg bisa terdefinisikan adalah konsep-konsep bawahannya seperti Trimurti dalam Hinduisme. Dalam Buddhisme, Nibbana tidak terdefinisikan, tetapi Sukawati (Surga) bisa. Kalau anda berbuat baik mengikuti syariat Buddhisme, maka anda akan masuk Sukawati. Tao di kepercayaan Cina tidak terdefinisikan, tetapi Li bisa. Li itu etiket, budi pekerti, dan diuraikan habis-habisan di dalam Confusianisme (ajaran Konghucu). Allah, Tao, Nibbana, dan Acynthia ini sama saja. Sesuatu yg tidak bisa diuraikan. Ada karena ada. Dan itu bukan agama. Kalau sudah jadi agama, maka ada syarat-syaratnya. Dan semua syarat itu dibuat oleh manusia juga.

Kita tidak tahu dari mana kita berasal. Sebelum lahir kita ada dimana? Kita tidak tahu. Setelah mati kita kemana? Kita juga tidak tahu. Yg kita tahu: kita ada karena kita ada. Saya ada karena saya ada. Itu saja. Dan itulah Allah. Ada karena ada. Yg ada karena ada bukanlah tubuh anda. Melainkan kesadaran anda. Anda sadar karena anda sadar. Anda sadar bahwa anda ada. Seingat anda, anda selalu sadar. Ada memory yg anda tidak ingat, tertelan di bawah sadar anda. Tetapi anda tahu, bahkan di saat itu anda tetap sadar. Anda selalu sadar. Tanpa perlu pakai agama, walaupun bisa juga pakai kalau mau.

Kenapa saya tidak ikut-ikutan kegiatan lintas agama? Karena lintas agama menempatkan manusia di dalam kotak-kotak. Jadi, ada kotak Islam, kotak Kristen Protestan, kotak Kristen Katolik, kotak Hindu, kotak Buddha dan kotak Konghucu. Semuanya main kotak. Kalau anda tidak kotak, maka anda tidak bisa ikut-ikutan kegiatan lintas agama. Saya bukan kotak, saya manusia biasa, makanya saya tidak bisa dan tidak mau ikut-ikutan kegiatan lintas agama.

Secara umum, orang lintas agama diharapkan agar menjadi orang beragama yg baik, yg bisa hidup rukun dan damai dengan orang beragama lainnya. Lucu juga, karena faktanya, bahkan tanpa beragama pun orang bisa hidup rukun dan damai dengan tetangga. Tidak saling mengganggu.

Tokoh lintas agama Indonesia yg paling terkenal adalah Gus Dur. Dan saya cukup maklum kenapa Gus Dur ikut begituan. Dia ini kan guru, dia mau mengajarkan kepada banyak umat Islam bahwa semua agama itu sama. Sama baiknya dan sama jeleknya. Kurang lebih seperti itu. Tokoh kedua adalah teman kita Anand Krishna. Berlainan dengan Gus Dur, saya kenal Anand Krishna langsung. Saya datang ke rumahnya. Dan benar, disana memang banyak patung berhala. Ada berhala Hindu, ada berhala Buddha, dan ada juga berhala Kristen. Ada patung Siwa, ada patung Buddha, dan ada patung Yesus. Tetapi tentu saja tidak disembah. Mereka cuma menjadi penghias ruangan saja. Ada pula Musdah Mulia yg memperoleh banyak penghargaan dari luar negeri. Ada pula Franz Magnis Suseno yg diharapkan mewakili Kristen Katolik.

Untuk apa menjadi orang lintas agama kalau ternyata tetap hidup di dalam kotak-kotak? Gus Dur menjadi tokoh lintas agama, dan tetap hidup di dalam kotak Islam. Anand Krishna sudah tidak pakai agama, tetapi dia masih memegang semua agama dengan harapan agar orang bisa menerima semua agama juga dan akhirnya menjadi orang universal. Kalau Musdah Mulia, dia ingin memperbaharui Islam dari dalam. Ketiga orang ini semuanya ingin membawa perubahan. Dan mereka ingin membawa perubahan dari dalam kotak. Manusia dimasukkan ke dalam kotaknya masing-masing. Setelah itu diberikan kuliah agar bisa hidup rukun dan damai dengan manusia yg hidup di kotak-kotak lainnya.

Kelemahan lain dari lintas agama adalah tumpulnya sikap kritis. Memang lintas agama berusaha untuk reformasi agama, tetapi dari dalam. Orang beragama lain diharapkan untuk tidak mengkritik. Islam tidak bisa mengkritik Kristen. Kristen tidak bisa mengkritik Islam. Hindu tidak bisa mengkritik Buddha. Buddha tidak bisa mengkritik Konghucu. Pedahal sikap kritis itu diperlukan. Setiap orang seharusnya bisa mengkritik setiap agama yg ada.

Spiritualitas adalah psikologi juga, yaitu hal kejiwaan manusia. Tentang persepsi, tentang pembentukan emosi, tentang relasi antar manusia, tentang harapan kita, kekecewaan kita. Dan semuanya harus diekspresikan dengan bebas tanpa perlu ditekan. Kalau mau ditekan seperti kebiasaan orang Indonesia, jadinya sakit jiwa. Banyak yg seperti itu. Prosentase orang sakit jiwa di Indonesia paling banyak sedunia. Penyebabnya: budaya kita yg suka menekan orang. Orang semuanya ditekan agar menjadi robot. Makanya jadi gila. Solusi dari saya: be yourselves! Jadilah diri anda sendiri! Kalau anda suka, bilanglah suka. Gabunglah dengan orang yg ada suka. Kalau anda tidak suka, bilanglah tidak suka. Tinggalkanlah apa yg anda tidak suka. It's your own life!

Spiritualitas yg sehat memang akhirnya cuma berisikan fun saja. Berbagi dengan satu sama lain. Tidak ada lagi tekan-menekan seperti di dalam agama dan di dalam aliran spiritual bersyariat. Kita semua menuju ke arah sana. Ke arah menghilangnya tekan-menekan. Meskipin demikian, orang Indonesia masih ragu untuk berbagi. Kita tidak terbiasa berbagi pengalaman pribadi. Kita dibiasakan untuk saling mengingatkan. Saling mengingatkan untuk tidak berbuat salah. Paradigmanya salah atau benar. Seperti anak SD saja.

Agama itu candu rakyat, kata Karl Marx. Mengapa? Karena agama memberikan penghilang rasa sakit seperti bisa anda dengarkan dari lagu-lagu rohani keagamaan. Lagu-lagu yg indah sekali, dan kata-kata yg indah juga. Sakit anda bisa hilang seketika, dan itulah agama.

Tetapi agama sebagai candu rakyat juga sudah mencapai targetnya. Orang sudah sadar bahwa ada aspek agama yg membutakan manusia terhadap realitas sosial. Kristen di masa Karl Marx beda jauh dengan sekarang. Mereka di saat itu masih menghadapi tantangan berupa kesejahteraan sosial, perang, persamaan hak. Dan banyak yg melarikan diri ke agama sebagai candu. Sayangnya Karl Marx tidak melihat kekristenan sebagai agen pendorong perubahan sosial. Hati nurani sosial merupakan anak dari kekristenan juga. Bahkan, komunisme sebenarnya merupakan salah satu turunan langsung dari kekristenan.Turunan dari kristen banyak sekali: demokrasi, liberalisme, komunisme, hak asasi manusia, sosialisme, internasionalisme.

Pemikiran Nietzsche yg berpendapat Allah telah mati juga merupakan turunan dari kekristenan. Nietzsche mengingatkan bahwa Kristen saat itu telah menjadi agama budak yg penuh dengan kemunafikan. Tetapi untunglah orang Kristen bisa cepat sadar.

Pramoedya Ananta Toer juga mengingatkan bahwa manusia bukanlah budak. Kita bebas menentukan hidup kita sendiri tanpa dirongrong oleh agama dan tradisi. Itulah kebebasan individual. Kalau anda bilang, jangan bicara secara kritis tentang agama atau tradisi, maka artinya anda berusaha untuk mengekang kebebasan individual. Pedahal individu bebas berpendapat apapun. Kebebasan individual memperbolehkan setiap orang menjadi dirinya sendiri. Tetapi kebebasan individual, bahkan di Barat, juga tidak datang begitu saja. Segalanya harus diperjuangkan.

Kebebasan individual itu urusan pribadi. Agama urusan pribadi. Sex urusan pribadi. Kalau anda sekarang ingin menjadi diri sendiri, ingin menggunakan otak anda, maka anda sebenarnya telah melepaskan diri dari roh perbudakan yg masihmengikat sebagian besar orang Indonesia. Anda sudah siap untuk menikmati kebebasan individual anda. Anda sudah bergabung dengan masyarakat internasional.

T = Mas Leo, tolong bimbing aku untuk bagaimana mulai meditasi dan mencapai sadar dalam kesadaran itu karena aku sulit untukberkonsentrasi!

J = Saya suka kaget memperoleh pertanyaan yg menurutnya bukan pertanyaan. Sudah jelas sejelas-jelasnya, kenapa ditanyakan lagi? Sekarang juga anda sadar dalam keadaan sadar. Meditasi cuma merasakan hal itu. Bahasa Indonesianya mengheningkan cipta. Mengheningkan cipta, mulai! Yg meditasi itu pikiran, dan bukan raga. Raga bisa pakai postur apapun. Mengheningkan cipta artinya mendiamkan pikiran. Caranya bukan bilang hus hus... melainkan konsen di satu titik.

Kita enjoy piikiran datang dan pergi. Kita lihat saja, tetapi fokusnya tetap di kesadaran kita dan bukan di pikiran itu. Rasakan saja kesadaran kita yg berada persis di tengah batok kepala.

Dan siapa bilang kalau meditasi tidak boleh ada kelebatan pikiran di kepala? Kelebatan tetap ada, boleh karena kita tidak bisa hilangkan dengan cara apapun. Di lain pihak, kita juga tahu bahwa kita adalah kesadaran yg melihat itu kelebatan datang dan pergi. Lalu gelombang otak kita akan turun dan turun terus sampai mencapai gelombang otak tidur lelap, tapi tetap saja meditasi atau mengheningkan cipta.

Jangan tidur! Caranya dengan selalu membuka mata anda sedikit. Kalau mata ditutup semua, anda bisa tidur lelap di gelombang otak rendah. Tetapi, kalau mata anda terbuka sedikit, anda akan tegang. Rasanya kencang di jidat. Dan itulah yg saya namakan meditasi di mata ketiga.

Kalau anda bisa, lakukanlah meditasi dengan mata sedikit terbuka. Mata terbuka sedikit, ujungnya saja. Fokus mata tetap, ke arah atas, 45 derajat melihat ke arah atas dengan bola mata kita. Dalam posisi itu orang akan melihat seolah-olah mata kita terbalik. Walaupun kelihatan seram, itulah caranya supaya kita tidak tertidur waktu meditasi. Saya sendiri tidak bisa meditasi dengan mata terpejam. Saya harus selalu buka sedikit. Ini teknik kuno, karena mereka di jaman dulu juga tahu bahwa kalau mata terpejam total kita akan mudah tertidur, makanya mereka membuka matanya sedikit. Sedikit saja, di ujungnya.

Tidak perlu pakai buku renungan meditasi. Meditasi adalah meditasi, bukan merenung. Menurut saya segala buku renungan meditasi sama sekali tidak ada gunanya. Dan segala macam renungan begituan cuma akan menjadi jebakan saja. Bukan membantu orang agar semakin naik tingkat, melainkan menjerumuskan orang ke dalam lubang penipuan diri sendiri. Itu pengalaman saya dari mengamati praktek perenungan di kalangan agama dan orang spiritual. Mereka pikir mereka tercerahkan. Pedahal terbutakan. Memang terasa kontradiktif, tetapi itulah realitanya.

Tentang manfaat meditasi seperti apa haruslah anda temukan sendiri. Apa yg anda rasakan sebagai manfaatnya, itulah manfaat meditasi bagi anda. Manfaat bagi saya belum tentu manfaat bagi anda karena ini termasuk hal yg subyektif juga. Dan tidak perlu pakai perenungan segala macam.

Kita bukan tukang merenung untuk menemukan katahati. Kata hati dilihat saja secara obyektif. Apa benar itu kata hati? Kalaupun benar, itu bukan intuisi. Hati itu sumber segala macam emosi, termasuk cinta, iri dengki dan amarah. Pedahal emosi seperti itu datang dan pergi begitu saja.

Meditasi bukan merenung, meditasi tidak memerlukan renungan apapun. Yg pakai renungan adalah orang yg masih memegang belief system tentang baik dan buruk. Intuisinya tidak jalan sehingga mengandalkan renungan. Pedahal baik dan buruk relatif dan kita tidak perlu merenungkannya. Cukup meditasi saja, dan kita akan langsung tahu sendiri. Namanya intuisi.

Dualitas selalu ada selama kita masih berbentuk manusia dengan tubuh fisik. Ada rahasianya juga bagaimana supaya bisa oke, yaitu pegang atas dan bawah. Pegang kiri dan kanan. Semuanya dipegang dalam saat bersamaan. Kita cuma bisa stabil kalau bisa memegang polaritas itu. Kultivasi spiritualitas memang mudah sekali kalau dijalani sendiri, tetapi juga complicated  kalau kita mau berteori saja. Dibutuhkan keahlian tersendiri, pengalaman pribadi jatuh bangun. Tidak semudah seperti dituliskandi buku petunjuk. Ada yg tidak pernah bisa dituliskan dan harus dialami sendiri.

Di tradisi tertentu, teknik saya bisa dibilang raja yoga, yoga of the mind. Menurut saya inilah teknik yg dipakai oleh Jiddu Krishnamurti, makanya dia tidak pakai belief system apapun. Lawannya adalah semua jenis meditasi keagamaan atau spiritual yg mengajarkan untuk fokus di dada. Orang yg meditasinya fokus di dada akan penuh dengan belief system. Ada yg perlu dipertahankan walaupun berupa mitos yg tidak jelas kebenarannya. Mereka takut untuk naik ke atas, ke cakra mata ketiga.

Cakra mata ketiga yg saya maksud adalah semua titikyg letaknya di tengah dan bagian atas kepala kita. Termasuk disini yg disebut cakra mahkota. Kalau kita fokus di tengah batok kepala atau di puncak kepala kita, maka kita sudah memakai cakra mata ketiga. Dan segala macam beliefsystem kita yg tidak realistis otomatis akan rontok dengan sendirinya. Sedikit demi sedikit kita akan mengalami transformasi. Itulah transformasi yg natural, tanpa dipaksakan. Transformasi diri tidak lain dan tidak bukan merupakan proses rontoknya belief system lama. Sebaliknya, orang yg konsentrasi di dada tidak bisa bertransformasi secara alamiah karena mereka terjebak di belief system. Selama masih konsentrasi di dada, mereka tidak bisa melepaskan diri dari belief system yg menyesakkan itu. Banyak agama dan aliran spiritual masih terjebak. Jalan di tempat, stagnant, karena mereka mengajarkan konsentrasi di dada. Tapi biarin aja, urusan orang!

Spiritual adalah bagian dari diri kita yg berbentuk spirit. Spirit artinya ruh, tidak terlihat. Pikiran kita spirit, perasaan kita juga. Pikiran dan perasaan tidak terlihat, makanya termasuk bagian dari spiritualitas. Spirit tidak bisa terlihat oleh mata fisik melainkan oleh yg spirit juga.

Alam semesta ada yg fisik dan ada yg non fisik. Panca indra digunakan untuk mengenal yg fisik. Tetapi ada pula alam semesta non fisik seperti yg kita alami ketika kita tidur. Kita merasa jalan kesana kemari, pedahal kita tidur. Itu alam semesta non fisik, dan adanya di dalam pikiran kita saja. Yg jelas, melek ataupun tidur, kita tetap saja sadar. Tanpa ada kesadaran, maka segalanya tidak akan ada. Alam semesta ini tidak ada kalau kesadaran kita tidak ada. Anda tidak ada kalau kesadaran saya tidak ada. Dan saya tidak ada kalau kesadaran anda tidak ada.

Segalanya kembali kepada kesadaran. Bahasa Inggrisnya consciousness. Atau awareness.

Sesuatu yg ada karena memang ada, tanpa perlu kita berteori datangnya dari mana dan mau pergi kemana. Kalau diteorikan, akan menjadi agama. Dan itu tidak mutlak perlu karena tanpa teori agama kita juga tetap saja hidup sebagai manusia yg sadar. Tanpa perlu berteori tentang Allah, kesadaran kita memang ada. Disini dan saat ini. Dan itulah pengertian inti dari kultivasi spiritualitas di dalam semua tradisi.

Cuma untuk sadar bahwa kita sadar. Aware of being aware.

Tidak semua orang yg mengaku spiritual frekwensinya sama. Saya pakai frekwensi yg paling tinggi, sehingga mereka yg frekwensinya di tengah dan bawah akan gelagapan. Mereka punya pegangan. Pegangan itu adalah kemelekatan. Mereka melekat kepada guru, nabi, kitab suci, syariat, agama, iman atau apapun namanya. Itu frekwensi menengah dan bawah. Meditasinya di dada atau cakra jantung.

Menekan ke bawah adalah istilah saya untuk orang yg meditasinya di cakra jantung atau di dada. Frekwensi saya lebih tinggi lagi karena saya fokus di tengah batok kepala, di cakra mata ketiga. Mungkin buat mereka saya akan tampil menakutkan karena saya bisa merontokkan belief system mereka. Frekwensi yg atas akan bisa merontokkan frekwensi yg lebih bawah. Saya pakai frekwensi yg paling tinggi, frekwensi menjadi diri sendiri.